TUTURMEDIA.COM – Kebudayaan lokal merupakan elemen penting yang merekatkan nilai-nilai tradisi dan identitas suatu komunitas. Dalam arus globalisasi yang kian deras, upaya untuk menjaga kelestarian budaya lokal sering kali dihadapkan pada tantangan yang kompleks. Masalah identitas kolektif muncul ketika masyarakat menghadapi ancaman terhadap nilai-nilai tradisional yang menjadi dasar kebersamaan mereka. Dalam konteks desa, modernisasi dan globalisasi sering kali membawa perubahan yang menyebabkan pergeseran nilai budaya lokal dan melemahnya keterikatan komunitas terhadap warisan leluhur. Hal ini mengakibatkan adanya fragmentasi dalam cara pandang masyarakat, terutama generasi muda, terhadap identitas bersama yang seharusnya menjadi pengikat sosial.
Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) Kabupaten Kudus menghadirkan upaya dalam pelestarian kebudayaan lokal. Lesbumi Kudus yang merupakan organisasi kebudayaan yang berada di bawah naungan Nahdlatul Ulama tersebut menciptakan gerakan bertajuk “Kembang Kanthil”. Kembang Kanthil merupakan sebuah gerakan yang menggabungkan dakwah dengan seni budaya dan tradisi lokal. Kegiatan ini bertujuan untuk membuka ruang dialog bagi generasi muda dalam memahami warisan leluhur desa, serta melestarikan budaya lokal di tengah arus modernisasi. Dalam konteks ini, teori collective identity dapat digunakan untuk memahami bagaimana kegiatan Kembang Kanthil membentuk dan merawat identitas kolektif masyarakat desa di Kabupaten Kudus.
Kegiatan Kembang Kanthil dilaksanakan secara rutin dalam kurun waktu selapan (35 hari) sekali dengan menghadirkan beberapa pembicara. Setiap kegiatan terdapat tema yang diangkat sebagai bahan diskusi. Tema yang diangkat tiap sesinya pun beragam, Kembang Kanthil edisi kedua dengan tema “Kinanthi Zaman Now” dan Kembang Kanthil edisi ketiga dengan tema “Refleksi Kemerdekaan” serta edisi yang terbaru yaitu kedua belas dengan tema “Trisno Ing Lathi lan Laku.” Setiap kegiatan tidak hanya berisi diskusi, tetapi juga diiringi dengan musik religi dan penampilan seni lokal, yang membuat suasana lebih interaktif dan menarik bagi peserta. Hal ini sejalan dengan pandangan Cohen (1985) yang menyatakan bahwa budaya dan tradisi dapat menjadi alat untuk membangun identitas kolektif.
Selanjutnya, Kembang Kanthil juga dimaksudkan sebagai ruang terbuka untuk dialog antar generasi, di mana generasi muda diajak untuk mengenal dan memahami warisan leluhur mereka. Dengan melibatkan pemuda dalam kegiatan ini, Kembang Kanthil berupaya untuk mengatasi kekosongan ruang informasi dan komunikasi yang sering kali terjadi antara generasi tua dan muda. Hal ini penting untuk menjaga kesinambungan budaya dan tradisi di masyarakat.
Melalui Kembang Kanthil, masyarakat Kudus dapat merasakan kembali nilai-nilai budaya yang mungkin telah terlupakan. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat rasa kebersamaan di antara peserta, tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya lokal. Menurut Tilly (2004), identitas kolektif dapat diperkuat melalui praktik-praktik sosial yang melibatkan partisipasi aktif dari anggota kelompok. Teori collective identity merujuk pada pemahaman bahwa individu dalam suatu kelompok berbagi identitas yang sama, yang dibentuk melalui pengalaman, nilai, dan tradisi yang sama. Menurut Polletta dan Jasper (2001), collective identity adalah “seperangkat karakteristik yang dibagikan oleh sekelompok orang yang membedakan mereka dari kelompok lain.” Dalam konteks Kembang Kanthil, kegiatan ini berfungsi sebagai sarana untuk memperkuat identitas kolektif masyarakat Kudus melalui pengenalan dan pelestarian budaya lokal.
Kembang Kanthil juga menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berkolaborasi dan berbagi pengalaman, yang pada gilirannya memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Dengan demikian, Kembang Kanthil tidak hanya berfungsi sebagai sarana dakwah, tetapi juga sebagai alat untuk membangun dan memperkuat identitas kolektif masyarakat Kudus.
Pada akhirnya, Kembang Kanthil merupakan contoh nyata bagaimana seni budaya dan tradisi dapat digunakan untuk membangun identitas kolektif dalam masyarakat. Melalui kegiatan ini, Lesbumi Kudus berhasil menciptakan ruang dialog yang mempertemukan generasi muda dengan warisan leluhur mereka. Dengan demikian, Kembang Kanthil tidak hanya berkontribusi pada pelestarian budaya lokal, tetapi juga memperkuat rasa kebersamaan dan identitas kolektif masyarakat Kudus.
Referensi
Cohen, A. P. (1985). The Symbolic Construction of Community. Routledge.
Polletta, F., & Jasper, J. M. (2001). Collective Identity and Social Movements: A Primer. The Sociology of Social Movements, 1-25.
Tilly, C. (2004). Social Movements, 1768–2004. Paradigm Publishers.
Penulis : Saiful Ni’am Muzakki (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Muria kudus)