Kampung Budaya Piji Wetan: Menjaga Warisan UNESCO Melalui Batik Tulis

Kudus83 Dilihat

KUDUS – Kampung Budaya Piji Wetan Kudus menggelar workshop membatik tulis yang diikuti oleh anak muda dan warga di Panggung Ngepringan Desa Lau, Dawe, Kabupaten Kudus, Selasa (8/4/2025).

Kegiatan kolaborasi warga dengan seniman residensi Tapangeli ini bertujuan untuk menghidupkan kembali esensi membatik tulis dan melestarikan batik sebagai warisan budaya dunia.

Sekitar 20 peserta, dibimbing oleh seniman batik asal Lasem, Divasio Putra Suryawan, berkreasi menciptakan pola-pola batik dengan tema harapan dan ingatan terhadap budaya Muria. Proses pembuatan batik, mulai dari pembuatan pola hingga mencanting dengan lilin malam, menunjukkan betapa rumitnya proses pembuatan batik tulis.

Candra Asih (20), peserta asal Jepara yang pertama kali mencoba mencanting, mengungkapkan kesulitannya.

“Pengen tahu rasanya membatik, ternyata sulit, jadi kita bisa lebih menghargai karya batik,” ujarnya.

Divasio Putra Suryawan, seniman residensi Tapangeli, menjelaskan alasan di balik kolaborasi ini. Ia ingin mengajak warga untuk mengingat kembali dan mengembalikan esensi budaya melalui membatik, serta menyoroti maraknya eksploitasi budaya dengan metode printing yang keliru disebut batik.

“Sekarang banyak eksploitasi atas nama budaya, seperti printing yang seharusnya tidak disebut batik,” tegasnya.

Divo, sapaan akrab seniman muda asal Rembang ini, menekankan pentingnya menjaga integritas batik sebagai warisan budaya dunia yang telah diakui UNESCO sejak 2009.

Batik, menurutnya, didefinisikan sebagai karya yang dihasilkan dari proses mencanting atau cap menggunakan lilin malam panas di atas kain. Ia menyayangkan praktik-praktik tidak jujur yang mengatasnamakan batik demi kepentingan pribadi.

“Semakin ke sini, banyak ketidakjujuran yang mengatasnamakan batik dengan kepentingan pribadi,” imbuhnya.

Hasil karya workshop ini akan dipamerkan dalam pameran instalasi Residensi Tapangeli Kampung Budaya Piji Wetan pada 21-27 April 2025. Workshop ini diharapkan dapat memberikan gambaran lanskap budaya di Lereng Muria, baik budaya lisan, benda, maupun arsitektur, yang kemudian dapat dialihmediakan dan diarsipkan melalui karya seni agar tetap lestari.

“Yang nantinya bisa dialihmediakan dan diarsipkan melalui karya seni sehingga tetap lestari,” pungkasnya.

(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *