TUTURMEDIA.COM – Riset dari Indonesia Indicator (I2) menunjukkan bahwa TikTok adalah platform media sosial dengan jumlah pengguna terbesar di Indonesia pada tahun 2024, mencapai 137 juta pengguna. Dengan total 107.998.788 unggahan dan 17.329.380.404 tanggapan, TikTok mengungguli Instagram, Facebook, dan Twitter dalam tingkat interaksi (engagement).
Namun, di balik popularitasnya, TikTok membawa dampak psikologis yang signifikan bagi penggunanya, terutama dalam bentuk Fear of Missing Out (FOMO) dan kecanduan media sosial. Dengan rata-rata waktu penggunaan mencapai 38 jam 26 menit per bulan per pengguna, banyak pengguna yang mengalami penurunan kesehatan mental, kecemasan, hingga gangguan tidur.
FOMO: Ketakutan Ketinggalan Tren dan Tekanan Sosial di TikTok
Menurut artikel Halodoc, FOMO adalah kondisi ketika seseorang merasa khawatir atau cemas karena takut melewatkan pengalaman sosial yang sedang dinikmati orang lain. Di TikTok, fenomena ini dipicu oleh:
Tren yang Berubah Cepat – Pengguna merasa harus selalu mengikuti tantangan baru, filter unik, atau gaya hidup yang viral agar tetap “eksis”.
Tekanan Sosial dan Validasi Digital – Banyak pengguna mengukur harga diri berdasarkan jumlah like, komentar, dan share, sehingga mereka terdorong untuk terus aktif.
Algoritma TikTok yang Menciptakan Siklus Konsumsi Tanpa Henti – Sistem rekomendasi TikTok membuat pengguna terus menggulir video tanpa sadar waktu.
Menurut Halodoc, dampak negatif FOMO terhadap kesehatan mental meliputi:
- Kecemasan dan Stres – Ketakutan tertinggal tren membuat pengguna mengalami gangguan tidur dan bahkan depresi.
- Perasaan Tidak Puas – Membandingkan diri dengan kehidupan di media sosial dapat menurunkan kepercayaan diri.
- Gangguan Produktivitas – Pengguna sering terdistraksi oleh TikTok, mengurangi fokus di sekolah atau tempat kerja.
- Perilaku Berisiko – FOMO bisa mendorong pengguna untuk mencoba tren berbahaya hanya demi validasi sosial.
Kecanduan TikTok dan Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan
Seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna TikTok di Indonesia, fenomena kecanduan media sosial juga semakin banyak terjadi. TikTok, dengan algoritma berbasis rekomendasi, membuat penggunanya terus menerus menggulir video tanpa menyadari berapa banyak waktu yang telah dihabiskan. Kebiasaan ini bukan sekadar hiburan, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental, interaksi sosial, dan kesejahteraan psikologis penggunanya.
Salah satu dampak yang paling umum terjadi adalah kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. TikTok menghadirkan konten dari berbagai kalangan, mulai dari selebritas, influencer, hingga orang biasa yang tiba-tiba viral. Tanpa disadari, pengguna sering merasa bahwa kehidupan orang lain terlihat lebih menarik, lebih sukses, atau lebih bahagia dibandingkan dengan kehidupan mereka sendiri. Hal ini memicu rasa tidak puas terhadap diri sendiri, menurunkan kepercayaan diri, dan bahkan dapat menyebabkan stres serta kecemasan.
Selain itu, kecanduan TikTok juga berkontribusi terhadap kesepian sosial. Meskipun platform ini memungkinkan pengguna untuk berinteraksi secara virtual melalui komentar, likes, dan fitur live streaming, interaksi digital ini tidak dapat sepenuhnya menggantikan hubungan sosial di dunia nyata. Banyak pengguna yang merasa memiliki banyak teman di media sosial, tetapi justru mengalami isolasi sosial dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mungkin menghabiskan lebih banyak waktu di depan layar daripada berkomunikasi langsung dengan keluarga atau teman-teman mereka, yang pada akhirnya memperburuk rasa kesepian dan keterasingan.
Tidak hanya itu, dampak psikologis dari kecanduan TikTok juga berujung pada penurunan kesehatan mental secara keseluruhan. Penggunaan TikTok yang berlebihan sering kali dikaitkan dengan perasaan bersalah dan penyesalan, terutama ketika pengguna menyadari bahwa mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu tanpa melakukan hal yang produktif. Hal ini dapat menyebabkan stres berkepanjangan, mengganggu produktivitas, dan memperburuk kondisi mental pengguna. Dalam jangka panjang, kecanduan media sosial semacam ini bahkan dapat berkontribusi terhadap gangguan tidur, kelelahan emosional, dan peningkatan risiko depresi.
Media Halodoc, pemaparan oleh dr. Rizal Fadli (2023) yaitu bahwa pengguna yang terlalu lama menghabiskan waktu di media sosial cenderung mengalami suasana hati yang buruk dan gangguan tidur. Algoritma TikTok yang terus-menerus menyajikan konten menarik membuat pengguna sulit untuk berhenti, bahkan ketika mereka sudah merasa lelah. Banyak orang yang akhirnya tidur larut malam hanya karena ingin menonton “satu video lagi,” yang kemudian berlanjut menjadi puluhan hingga ratusan video tanpa disadari. Siklus ini menyebabkan kurangnya istirahat yang berkualitas, meningkatkan tingkat stres, serta menurunkan daya konsentrasi di keesokan harinya.
Dengan berbagai dampak negatif ini, penting bagi pengguna untuk mulai mengatur kebiasaan mereka dalam menggunakan TikTok. Kesadaran akan batasan waktu penggunaan, membatasi konsumsi konten yang memicu kecemasan, dan lebih fokus pada interaksi sosial di dunia nyata dapat membantu mengurangi dampak buruk kecanduan media sosial terhadap kesehatan mental.
Solusi untuk Mengatasi Dampak Negatif TikTok dan FOMO
1. Meningkatkan Kesadaran Digital dan Penggunaan yang Sehat
Salah satu langkah utama dalam mengurangi dampak negatif TikTok terhadap kesehatan mental adalah dengan meningkatkan kesadaran digital dan membangun kebiasaan penggunaan yang lebih sehat. Berdasarkan laporan Indonesia Indicator (I2), rata-rata pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan 38 jam 26 menit per bulan untuk mengonsumsi konten di platform ini. Durasi yang panjang ini dapat berdampak negatif jika tidak dikontrol dengan baik. Oleh karena itu, pengguna perlu memanfaatkan fitur seperti “Digital Wellbeing” yang disediakan oleh TikTok untuk membatasi waktu penggunaan harian. Dengan menerapkan batas waktu yang jelas, pengguna dapat menghindari konsumsi konten yang berlebihan dan lebih fokus pada aktivitas lain yang lebih produktif.
Selain itu, pengguna juga perlu lebih selektif dalam mengonsumsi konten agar tidak terjebak dalam konsumsi pasif yang hanya membuang waktu tanpa memberikan manfaat. Menghindari konten yang memicu kecemasan atau membandingkan diri dengan orang lain bisa menjadi langkah awal dalam menciptakan pengalaman digital yang lebih positif. Sebagai gantinya, memilih konten edukatif seperti keterampilan baru, pengembangan diri, dan informasi bermanfaat dapat membantu meningkatkan kesejahteraan psikologis. Di samping itu, menyeimbangkan aktivitas online dengan kegiatan offline seperti olahraga, membaca, dan berinteraksi secara langsung dengan orang di sekitar juga menjadi cara efektif untuk mengurangi ketergantungan pada media sosial. Studi dari We Are Social (2024) menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu di media sosial dapat menurunkan kepuasan hidup, sehingga keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata harus menjadi prioritas utama.
2. Peran Keluarga dan Pendidikan dalam Mengurangi FOMO
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) yang semakin marak di era digital menjadi salah satu dampak negatif dari penggunaan media sosial, termasuk TikTok. Banyak pengguna merasa tertinggal jika tidak mengikuti tren yang sedang viral, sehingga mereka terus-menerus memantau media sosial tanpa henti. Untuk mengatasi hal ini, literasi digital harus diajarkan sejak dini melalui pendidikan di sekolah dan keluarga. Keluarga dan institusi pendidikan perlu mengedukasi generasi muda tentang bagaimana media sosial dapat memengaruhi psikologi mereka. Menurut Halodoc (2023), FOMO dapat menyebabkan kecemasan, stres, dan bahkan menurunkan kualitas hidup seseorang jika tidak dikendalikan dengan baik. Oleh karena itu, memahami bahwa media sosial sering kali hanya menampilkan “kehidupan yang disaring” dan tidak selalu mencerminkan realitas menjadi langkah penting dalam mengatasi perasaan kurang puas terhadap kehidupan sendiri.
Selain edukasi digital, pendampingan orang tua dalam penggunaan media sosial anak juga menjadi faktor krusial dalam mencegah dampak buruk TikTok. Orang tua perlu terlibat aktif dalam memahami bagaimana anak mereka menggunakan platform ini dan mengajarkan bahwa tidak semua yang ditampilkan di TikTok adalah gambaran akurat dari kehidupan nyata. Misalnya, banyak konten yang dikemas secara estetis dan menarik, tetapi sebenarnya hanya menampilkan potongan kecil dari kehidupan seseorang. Dengan adanya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak, serta bimbingan yang tepat, anak-anak dapat lebih bijak dalam menggunakan TikTok tanpa terjebak dalam tekanan sosial yang berlebihan.
3. Kebijakan dan Regulasi untuk Mengontrol Pengaruh TikTok
Selain upaya individu dan keluarga, kebijakan dan regulasi yang lebih ketat dari pemerintah dan platform media sosial itu sendiri sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif TikTok. Pemerintah dan TikTok Indonesia harus lebih aktif dalam menerapkan regulasi terkait konten yang dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental. Menurut laporan Indonesia Indicator (2024), TikTok bukan hanya digunakan sebagai platform hiburan, tetapi juga menjadi ruang diskusi publik yang dapat memengaruhi opini masyarakat, termasuk dalam politik dan tren sosial. Oleh karena itu, regulasi terhadap konten viral, informasi menyesatkan, serta tren yang berpotensi membahayakan harus semakin diperketat agar pengguna, terutama generasi muda, tidak terpengaruh oleh konten negatif yang dapat merusak pola pikir mereka.
Selain regulasi, pemerintah dan platform media sosial juga perlu menjalankan kampanye kesadaran digital untuk meningkatkan literasi masyarakat dalam menggunakan media sosial secara sehat. Kampanye ini dapat berupa edukasi mengenai dampak psikologis penggunaan TikTok secara berlebihan, pentingnya keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, serta cara mengelola FOMO agar tidak berdampak buruk pada kesehatan mental. Studi dari We Are Social (2024) mencatat bahwa sentimen negatif di media sosial dapat menimbulkan efek domino terhadap kesejahteraan psikologis pengguna. Oleh karena itu, dengan adanya kebijakan yang lebih ketat dan edukasi yang lebih luas, masyarakat diharapkan dapat menggunakan TikTok dengan lebih bijak tanpa mengorbankan kesehatan mental mereka.
TikTok telah menjadi platform media sosial terpopuler di Indonesia, tetapi juga membawa dampak psikologis yang serius bagi penggunanya. Fenomena FOMO dan kecanduan TikTok semakin meningkat, menyebabkan kecemasan, gangguan tidur, dan menurunkan produktivitas pengguna.
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan kesadaran digital, peran keluarga dalam mendidik anak-anak, serta kebijakan yang lebih ketat dari pemerintah dan platform media sosial itu sendiri.
Masyarakat Indonesia harus mulai menggunakan TikTok secara lebih sehat, agar manfaatnya bisa dinikmati tanpa mengorbankan kesehatan mental.
Penulis: Indrajid, Mahasiswa IPB University