Tantangan Global: Antara Rezim yang Menekan dan Krisis Iklim yang Mengancam

Artikel79 Dilihat

TUTURMEDIA.COM – Di tengah gejolak politik global dan ancaman krisis iklim yang semakin nyata, kita menghadapi dilema besar yakni ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh rezim yang menindas, dan krisis iklim yang kian mengancam kelangsungan hidup. Meskipun kedua masalah ini tampaknya berbeda, namun ternyata keduanya saling berkaitan dan sering kali memperburuk satu sama lain. Ketika politik gagal memberi solusi yang adil bagi rakyat, perubahan iklim pun semakin memperburuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan sosial. Jika dibiarkan tanpa penanganan serius, maka dapat dipastikan masa depan akan semakin suram.

Rezim yang menekan kebebasan rakyat merupakan salah satu faktor utama yang memperburuk situasi politik di banyak negara. Salah satu isu yang tengah mengemuka di Indonesia adalah revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang kini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dalam politik. Dwi fungsi ABRI adalah konsep di mana militer tidak hanya berperan sebagai penjaga kedaulatan negara, tetapi juga memiliki peran aktif dalam politik dan pemerintahan. Meskipun reformasi yang dimulai pada akhir 1990-an telah berhasil mengurangi dominasi militer dalam politik, wacana revisi UU TNI yang mengizinkan keterlibatan lebih besar tentara dalam struktur sipil dapat mengancam demokrasi dan kebebasan sipil yang telah diperjuangkan selama ini. Kembalinya peran militer dalam politik bisa menciptakan ketidakstabilan sosial dan menambah tekanan terhadap kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia.

Revisi UU TNI yang dibahas DPR di Hotel Mewah menimbulkan berbagai kontroversi, mengingat sejumlah poin yang mengubah peran dan tugas TNI, termasuk dalam penanganan masalah narkoba dan operasi siber. Walaupun pemerintah menyatakan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperkuat pertahanan negara dan meningkatkan kapasitas militer, banyak kalangan yang khawatir ini bisa membuka celah bagi kembalinya dwifungsi ABRI di mana militer kembali mengintervensi urusan sipil dan politik. Lebih jauh lagi, dalam situasi ini, kita bisa melihat bagaimana kekuatan rezim yang menekan bisa berisiko meningkatkan ketegangan sosial dan politik. Keputusan untuk memperkuat peran TNI dalam kehidupan sipil atau memperpanjang batas usia pensiun prajurit, meskipun dimaksudkan untuk memperkuat pertahanan negara, bisa berpotensi mengarah pada politisasi dan penguatan militerisme yang berisiko mengurangi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan.

Tidak cukup dengan banyaknya pengaruh militer di pemerintahan,aturan secara ugal-ugalan coba untuk di sahkan. Cara pemerintah membuat aturan baru terkesan cepat dan sembunyi-sembunyi padahal kita tau aturan baru adalah dampak jangka panjang bagi masyarakat. Kita harusnya menjadi pengawas namun justru seakan menjadi perusuh bagi Dewan yang kita dobrak karena membahas aturan yang sama sekali tidak kita tau dan justru dapat mengacam para sipil.

Di sisi lain, kita menghadapi ancaman yang tidak kalah besar, yaitu krisis iklim. Isu perubahan iklim telah menjadi salah satu tantangan terbesar bagi umat manusia saat ini. Pemanasan global, naiknya permukaan air laut, bencana alam yang semakin sering terjadi, serta perubahan pola cuaca yang tak terprediksi, semuanya merupakan gejala yang mengancam keberlanjutan hidup di Bumi. Di Indonesia, dampak dari deforestasi yang semakin meningkat jelas terasa. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pertambangan, dan industri lain terus menggunduli hutan-hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Selain itu, kebakaran hutan yang sering terjadi setiap tahun menambah beban pada kualitas udara yang sudah buruk dan semakin merusak ekosistem yang rapuh.

Perubahan iklim ini berpotensi memperburuk ketidaksetaraan sosial, karena negara-negara dengan ekonomi lemah sering kali lebih rentan terhadap dampaknya. Negara-negara berkembang yang tidak memiliki infrastruktur yang cukup untuk menghadapi bencana alam atau mengelola sumber daya alam dengan bijak, sering kali menjadi korban pertama. Krisis iklim juga dapat menciptakan gelombang migrasi massal, dengan jutaan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena bencana alam atau kelangkaan sumber daya. Hal ini tentu saja akan memicu ketegangan politik baik di tingkat nasional maupun internasional.

Sama seperti rezim yang menekan rakyat, pemerintah yang tidak peduli terhadap isu perubahan iklim seringkali memperburuk keadaan. Alih-alih mengambil tindakan tegas untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, banyak negara justru terus mengandalkan sumber energi fosil yang merusak lingkungan. Pemerintah yang lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan sering kali mengabaikan kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Padahal, investasi dalam energi bersih adalah kunci untuk mengatasi perubahan iklim.

Salah satu dampak perubahan iklim yang sangat terasa adalah ketimpangan sosial yang semakin meningkat. Kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan justru semakin memperburuk ketidakadilan, di mana masyarakat miskin yang berada di daerah rentan sering kali menjadi korban utama. Selain itu, deforestasi yang terjadi di Indonesia dan negara-negara tropis lainnya tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam mata pencaharian komunitas yang bergantung pada hutan untuk kehidupan mereka. Kehilangan hutan tropis berarti kehilangan sumber daya alam yang vital, serta mengurangi kemampuan kita untuk menyerap karbon yang menjadi penyebab utama pemanasan global.

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya untuk mengurangi dampak perubahan iklim semakin intensif, namun masih sangat jauh dari yang dibutuhkan. Protokol dan kesepakatan internasional seperti Perjanjian Paris mungkin memberi harapan, tetapi kenyataannya, banyak negara yang tidak memenuhi komitmen mereka untuk mengurangi emisi karbon. Kesadaran global memang telah meningkat, namun perubahan sistemik yang diperlukan masih terhambat oleh kepentingan politik dan ekonomi yang seringkali bertentangan dengan keberlanjutan jangka panjang.

Kedua krisis ini saling mempengaruhi dan menciptakan lingkaran setan yang sulit untuk diputus. Ketidakstabilan politik yang disebabkan oleh rezim yang menindas dapat memperburuk respons terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, dampak dari perubahan iklim yang semakin parah dapat memperburuk ketidakstabilan politik. Misalnya, ketegangan sosial yang disebabkan oleh kelangkaan pangan atau bencana alam bisa memicu ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak responsif. Akibatnya, kita akan melihat lebih banyak protes, kerusuhan, atau bahkan konflik bersenjata yang dapat mengalihkan perhatian dari upaya-upaya penanggulangan perubahan iklim.

Agaknya masyarakat perlu tau betapa bahayanya krisis iklim yang dibarengi oleh carut marutnya pemerintahan saat ini. Iklim menjadi penentu geopolitik global yang dimana negara yang dapat mengendalikan perubahan iklim adalah negara dengan kesiapan menghadapi bencana sosial yang besar. Indonesia adalah salah satu negara dengan penduduk yang cukup besar di dunia bahkan menempati peringkat lima besar penduduk terbanyak di dunia . Maka ancaman perubahan iklim jelas di depan mata , stabilitas sosial dan politik juga menjadi pertaruhannya.

Namun, meskipun tantangan yang kita hadapi begitu besar, masih ada harapan. Banyak gerakan sosial, aktivis, dan individu yang berjuang untuk mengatasi kedua masalah ini. Di tingkat lokal, banyak komunitas yang bekerja bersama untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, dengan mengembangkan solusi berbasis alam, seperti pertanian berkelanjutan, pengelolaan air yang lebih efisien, dan konservasi hutan. Di tingkat global, ada peningkatan kesadaran tentang pentingnya tindakan kolektif untuk menangani perubahan iklim, meskipun implementasinya masih lambat.

Solusi untuk mengatasi kedua krisis ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Di sisi politik, perubahan menuju pemerintahan yang lebih transparan dan responsif terhadap kebutuhan rakyat sangat penting. Demokrasi yang sehat, kebebasan berbicara, dan penguatan institusi hukum adalah langkah-langkah dasar untuk mengurangi ketidakstabilan politik yang bisa memperburuk masalah sosial dan iklim. Pemerintah yang bertanggung jawab harus berani mengambil keputusan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan lingkungan.

Di sisi iklim, transisi menuju ekonomi hijau harus menjadi prioritas utama. Investasi dalam teknologi ramah lingkungan, seperti energi terbarukan, transportasi berkelanjutan, dan infrastruktur hijau, tidak hanya akan mengurangi dampak perubahan iklim, tetapi juga menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat juga harus diberdayakan untuk menjadi bagian dari solusi, dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pola hidup berkelanjutan dan konservasi sumber daya alam.

Masa depan kita sangat bergantung pada seberapa cepat kita dapat menanggulangi kedua krisis ini. Perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang diperlukan tidak akan datang dengan sendirinya. Diperlukan kerja sama internasional yang lebih erat, tindakan kolektif, serta kepemimpinan yang berani untuk menghadapi tantangan ini. Tanpa itu, kita akan terus berada di ambang kehancuran, terjebak dalam lingkaran ketidakstabilan politik dan dampak buruk perubahan iklim yang semakin parah.

Kita perlu mengingatkan pemimpin kita bawasannya bekerja baik pun juga harus mendengarkan suara rakyatnya. Jika pemimpin sibuk berseteru dengan rival politik juga tidak baik untuk rakyatnya meskipun tidak secara langsung namun ego saling sikut di atas harus segera di hapuskan demi kepentingan bangsa. Dalam situasi ini masyarakat butuh solusi konkrit , bukan sekedar kebijakan cek ombak yang jika di protes akan ada pejabat yang bertingkah seakan pahlawan itu datang .

Kita mungkin tidak bisa menghindari krisis ini sepenuhnya, tetapi kita masih memiliki kesempatan untuk mengurangi dampaknya. Oleh karena itu, kita harus segera bertindak. Menunda tindakan hanya akan memperburuk keadaan. Masa depan yang lebih baik mungkin tidak mudah diraih, tetapi jika kita bersatu dan berkomitmen untuk membuat perubahan, kita masih bisa berharap.

Penulis: Endang Susanti, S.Sos (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Hamam Nasirudin (Mahasiswa Pascasarjana UIN Salatiga)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *