TUTURMEDIA.COM – Profesor Jeffrey Winters mengatakan, “demokrasi adalah sistem di mana kekuasaan politik formal tersebar”. Kekuasaan politik yang tersebar adalah agenda utama demokrasi. Profesor Jeffrey Winters dalam kutipan di awal tulisan ini menegaskan bahwa kekuasaan politik yang mulanya terpusat harus disebar pada sistem demokrasi. Salah satu wujud kekuasaan yang disebar dalam demokrasi adalah hak menyampaikan pendapat dan memilih pemimpin kepada setiap warga negara. Termasuk menyampaikan pendapat melalui kritik.
Namun, bagaimana jika di alam demokrasi kritik sebagai bentuk kebebasan berpendapat justru menjadi hal menakutkan untuk dilakukan? Tentu ada yang salah, bukan? Benarlah apa yang Machiavelli pernah bilang bahwa pada sistem monarki, bisa saja pemerintahan berjalan secara demokratis, dan sistem demokrasi justru yang ditemukan adalah hal sebaliknya.
Apa yang Machiavelli pernah ujarkan berabad-abad lalu itu, sedikit banyaknya ada benarnya. Akhir-akhir ini di beberapa belahan dunia, bahkan beberapa ahli menegaskan fenomena yang sedang terjadi di negeri ini. Setidaknya, begitu pengakuan beberapa tokoh, akademisi, dan mereka yang dilabeli media sebagai “pengamat”.
Demokrasi Sedang Diuji
Di alam demokrasi, kritik ibaratnya energi (charge) bagi sebuah gawai. Jika energi hasil “charging”-nya habis, maka matilah gawai itu. Jangankan menjadi gawai yang cerdas, menjadi “gawai” saja hanya tinggal nama. Tidak berfungsi.
Jadi, salah satu syarat utama demokrasi ialah adanya kritik sebagai sumber energi bagi kekuasaan. Selain itu, bukankah demokrasi memiliki prasyarat menyebar kekuasaan? Dengan begitu, langkah awal dalam menyebar kekuasaan dan memberi asupan energi kepada demokrasi, adalah dengan memberikan ruang seluas mungkin untuk kritik.
Tentu saja, di era demokrasi digital ini pula, pemerintah dan publik perlu bersepaham bahwa “kritik”, berbeda dengan “ujaran kebencian” (hate speech), dan penyebaran hoaks. Agar demokrasi menjadi sehat, pemerintah dan publik perlu bersepaham dan bersepakat soal ini. Bahwa ujaran kebencian dan berita bohong berbeda dengan kritik.
Para pemikir dan pelaku sejarah berusaha menciptakan demokrasi karena “jengah” dengan praktik otoriter monarki yang suka menyebar rasa takut. Tak ada kebebasan dan kemerdekaan berpendapat di sistem otoriter. Dengan begitu, sistem demokrasi bertujuan sejak awal melawan atau mengganti sistem yang bertindak otoriter demi kemerdekaan dan kebebasan serta menghilangkan rasa takut.
Setidaknya, begitu pada mulanya mengapa republik lahir menggantikan monarki. Republik yang dicita-citakan bertindak demokratis, monarki yang ditinggal karena perilaku otoriternya. Sikap otoritarianisme tentu menyimpan sebuah trauma. Trauma, dimana-mana mencipta ketakutan untuk kembali. Maka, move on-lah mereka yang trauma dan yang menolak untuk trauma ini.
Singkat cerita, digantilah model bernegara dan sistem berpemerintahan dari monarki ke republik, dari yang dibilang otokrasi menjadi demokrasi. Dari yang dibilang otoriter menjadi yang diharap demokratis. Dari yang pernah menakutkan menjadi yang diharap membahagiakan. Demokrasi bercita-cita untuk melawan dan meninggalkan “rasa takut” akan trauma otoritarianisme di masa lalu.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di era pascakolonial dan pascaorba di Indonesia dewasa ini, demokrasi tentu mengalami tantangan hebat. Termasuk bagaimana melawan trauma pada sistem otoriter sebelumnya. Di alam demokrasi yang masih relatif muda seperti Indonesia, di mana demokrasi berjumpa dengan budaya digital dengan pengguna media sosial yang tinggi, demokrasi berpotensi menjadi “banal”. Indonesia sedang berada di tengah ujian itu.
Bahkan, jika benar adanya wacana tentang buzzer yang terorganisir untuk melakukan serangan personal kepada pengkritik yang dianggap berpengaruh, maka semakin tidak eloklah demokrasi itu. Lebih celaka lagi, jika tindakan persekusi digital di media sosial itu membuat orang ketakutan atau minimal enggan bahkan malas melakukan kritik, karena menilai demokrasi tak lagi sehat. Jika hal itu terjadi, maka udara berkehidupan sosial budaya masyarakat kita juga akan tercemar seiring tercemarnya ruang publik kita oleh buzzer tersebut terlepas siapa yang mengorganisir dan kepada siapa, serta untuk kepentingan apa dia bekerja.
Indonesia sedang menjalani ujian sekaligus takdir demokrasinya. Di usia yang relatif muda, demokrasi Indonesia sedang berproses untuk menjadi dan menemukan bentuk idealnya. Dari kesadaran akan kondisi in-progess itu, maka dialog, debat, hingga kritik tak boleh berhenti atau dihentikan. Jika itu terhenti, maka berhenti pulalah “proses menjadi” Indonesia sebagai bangsa dan negara yang demokratis.
Sebagai refleksi, untuk menjaga demokrasi di Indonesia, fungsi kritik tentu penting dan perlu dalam mengoreksi dan mengevaluasi kekuasaan. Kebebasan melakukan kritik adalah cara untuk mendistribusikan kekuasaan kepada pemilik hak politik formal sebagaimana marwah demokrasi. Kritik adalah hak setiap warga negara.
Demokrasi bertalian erat dengan kritik, bukan dengan ujaran kebencian apalagi berita bohong. Itu yang perlu dipahami dan disepakati bersama. Dengan kejelasan, kesepahaman, dan kesepakatan demikian, maka kritik sepantasnya bukanlah hal menakutkan, apalagi sampai menakut-nakuti para pengkritik. Fungsi kritik mestilah dikembalikan untuk menjaga marwah demokrasi (dignity of democracy).
Ketika kritik di alam demokrasi berubah menjadi rasa takut, bukankah itu tanda-tanda how democracies (will) die? Bagaimana demokrasi (akan) mati?
Kita tentu tidak ingin demokrasi mati, bukan?
Penulis: Lalik Kongkar