TUTURMEDIA.COM – Dewasa ini publik diramaikan dengan fenomena pagar laut yang terbentang di pesisir Kabupaten Tangerang dengan panjang mencapai 30,16 kilometer. Dibangun dengan menggunakan bambo setinggi enam meter, struktur ini awalnya ditemukan pada bulan Agustus 2024 dengan panjang sekitar tujuh kilometer dan dalam waktu singkat pagar laut ini semakin meluas hingga puluhan kilometer serta menimbulkan berbagai kontroversi, tidak hanya dari sisi lingkungan tetapi juga dari segi sosial dan lingkungan. Pagar laut yang diinisiasi oleh kelompok tertentu menunjukkan adanya ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang sayangnya menjadi milik bersama.
Masyarakat pesisir, yang sebagian besar merupakan nelayan, sangat mengandalkan akses bebas ke laut untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ketika pembangunan pagar laut ini dilakukan tanpa melibatkan partisipasi masyarakat setempat khususnya nelayan, semangat swadaya yang seharusnya menjadi solusi bersama malah terkikis. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat pesisir Tangerang telah membuktikan kemampuan mereka dalam menjaga kawasan pantai secara mandiri.
Di sisi lain, kemudahan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan SHM (Sertifikat Hak Milik) di wilayah pesisir menjadi faktor yang seharusnya perlu untuk dipertanyakan. Sejak kapan laut bersertifikat dan siapa yang bertanggung jawab atas penerbitan sertifikat tersebut? Apakah penerbitan SHGB ini telah sesuai dengan peraturan dan prinsip keberlanjutan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hingga saat ini belum mendapatkan jawaban yang jelas. Dalam banyak kasus, kepemilikan SHGB di kawasan pesisir sering kali diberikan tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis. Ini menimbulkan dugaan adanya kelalaian dalam proses perizinan atau bahkan praktik korupsi yang perlu diusut lebih lanjut.
Selain itu, dampak lingkungan dari pembangunan pagar laut ini sangat mengkhawatirkan. Ekosistem laut yang seharusnya menjadi habitat alami berbagai spesies laut kini terganggu. Terumbu karang, yang menjadi tempat berkembang biak ikan, berpotensi rusak akibat perubahan aliran air laut. Kehancuran ekosistem ini tidak hanya mengancam biodiversitas laut tetapi juga menurunkan produktivitas perikanan lokal.
Bagi nelayan, dampak dari proyek ini sangat signifikan. Salah satu yang paling dikeluhkan adalah gangguan terhadap aktivitas nelayan. Pagar tersebut menghalangi jalur perahu, memaksa nelayan menempuh rute lebih jauh untuk melaut. Hal ini tentunya meningkatkan biaya operasional nelayan, terutama dari segi waktu dan bahan bakar, sehingga menambah beban ekonomi mereka. Lebih jauh lagi, proyek pagar laut ini diduga memiliki unsur ilegal. Beberapa pihak menilai bahwa pembangunan tersebut tidak melalui kajian lingkungan yang memadai.
Padahal, dalam undang-undang yang berlaku, setiap proyek di kawasan pesisir wajib mendapatkan izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika benar proyek ini dilaksanakan tanpa izin tersebut, maka jelas ada pelanggaran hukum yang serius. Tidak hanya itu, pelanggaran hukum lainnya juga bisa berupa pemanfaatan kawasan konservasi tanpa izin yang sah. Proyek seperti ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum di sektor pengelolaan pesisir. Ketika hukum tidak ditegakkan secara tegas, kepentingan publik sering kali dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.
Beruntung, adanya desakan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat dan pemerhati lingkungan, telah mendorong pemerintah untuk bertindak. Pencabutan pagar laut menjadi salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mengembalikan hak masyarakat pesisir atas laut mereka. Langkah ini juga dapat menjadi momentum untuk mengevaluasi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara lebih luas.
Namun, pencabutan pagar laut saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan adanya regulasi yang ketat untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. Selain itu, partisipasi masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan di wilayah pesisir harus menjadi prioritas utama agar tidak ada lagi konflik kepentingan yang merugikan.
Pemerintah seakan tak berdaya ketika polemik ini hangat di berbagai kalangan masyarakat indonesia. Kasus pagar laut ini harusnya tidak berhenti hanya sebatas pembongkaran yang bahkan terkesan terburu-buru.
Lebih jauh dari itu harusnya pemerintah memberikan klarifikasi mendalam terkait siapa saja dalang di balik kavling laut yang meresahkan warga. Tentu kita menyakinan ketegasan pemerintah seharusnya tidak cukup memerintah militer untuk menghancurkan pagar namun menghancurkan praktik kavling laut yang dapat merusak lingkungan.
Polemik pagar laut ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan sangatlah penting. Pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha harus bersinergi untuk memastikan bahwa pembangunan di wilayah pesisir tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan ekologis. Dengan demikian, keadilan dan keberlanjutan dapat terwujud secara nyata.
Oleh: Endang Susanti, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Hamam Nasirudin