Pelukis Hantu

Sastra675 Dilihat

Tuturmedia.com, Cerpen –

Mulut Sardi komat-kamit bak melafalkan mantra, sebagaimana dukun profesional. Matanya mendelik ke sana-sini, seperti sedang memperhatikan objek tak kasatmata yang hilir mudik. Hingga akhirnya, ia menodongkan penanya ke arah sudut kanan atas ruangan. Dengan cekatan, ia lalu melukis sebuah citraan makhluk halus pada sebuah kertas.

Dalam waktu sekejap, lukisan itu akhirnya rampung dan berhasil memvisualisasikan bayangan di dalam benaknya. Sebuah lukisan yang memperlihatkan sosok hantu wanita dengan rambut panjang yang tampak sedang menggendong sosok hantu pria bertubuh pendek dengan kepala botak, layaknya wewek gombel yang sedang menggendong tuyul.

“Inilah makhluk halus yang membuat rezeki Bapak sekeluarga menjadi seret, yang membuat pendapatan Bapak dari warung makan di samping rumah Bapak ini jadi sangat menurun. Pada intinya, makhluk seperti ini membuat orang-orang tidak tertarik untuk makan di warung Bapak,” jelas Sardi.

Sang tuan rumah beserta istri dan seorang anak gadisnya, jadi bergidik melihat tampakan itu.

“Terus, kenapa makhluk semacam ini bisa ada di rumah kami dan menganggu pendapatan kami, Mbah?” tanya sang tuan rumah.

“Keberadaan makhluk seperti ini, dikirim oleh seseorang yang iri terhadap usaha Bapak,” jawab Sardi.

“Siapa?” sergah sang nyonya rumah.

Sardi lantas mengembuskan napas yang panjang. “Tadi, aku tak mampu membuat makhluk itu mengakui siapa tuannya. Kukira, tuannya memberikan tumbal yang sangat besar, sehingga hantunya jadi sangat kuat,” tukasnya, untuk menghindari perkara yang panjang dan bisa membuatnya pelik sendiri.

Sang tuan rumah jadi tampak kecewa mendengar ketidakmampuan Sardi. “Tetapi, Mbah tetap bisa mengusirnya dari rumah kami, kan?”

Sardi menganguk tegas. “Tentu saja. Selama Bapak sekeluarga mau mematuhi saran-saran yang kuberikan, perkara pengusiran makhluk itu, pasti beres.”

Sontak saja, sang tuan rumah sekeluarga tampak lega, seolah kembali optimistis akan masa depan usaha mereka yang lebih baik.

Sesaat kemudian, Sardi lalu mengerlingkan matanya kepada kawan operasinya, Azim. Kerlingan itu adalah isyarat pertanyaan, perihal apakah Azim telah menunaikan tugasnya. Azim pun mengangguk kecil, memberikan isyarat balasan kalau semuanya sudah siap sesuai rencana untuk dilangsungkanya sebuah taktik rekayasa pengusiran hantu. Karena itu, Sardi lantas memulai adegan ritual pengusiran dengan tata cara karangannya sendiri.

Begitulah sebenarnya, bahwa Sardi hanyalah dukun gadungan, dan Azim bertindak sebagai asistennya. Mereka berdua mengaku bisa mengatasi persoalan apa pun yang dipercayai orang-orang sebagai hal yang berkaitan dengan alam gaib. Mereka berdua bekerja sama melakukan praktik tipu-tipu demi mendapatkan bayaran uang dari siapa saja yang memiliki permasalahan dunia dan memercayai kalau penyebabnya adalah makhluk halus.

Pada masa lalu, Sardi sebenarnya adalah seorang pelukis bayaran. Ia sering memangkal di kota, di sebuah anjungan pantai, untuk melukis apa pun yang diminta orang-orang. Ia bisa melukis objek berupa manusia, binatang, alam, hingga figur imajinatif. Ia pun terhitung cepat dalam menyelesaikan lukisannya. Ia sangat ahli dan digemari. Karena itu, ia bisa mendapatkan bayaran yang cukup menjanjikan untuk keperluan hidupnya sekeluarga.

Tetapi nasib buruk menimpanya seiring dengan kemajuan zaman. Pada waktu-waktu kemudian, ia jadi makin kesulitan untuk mendapatkan orang yang sedia memberikan bayaran untuk lukisannya. Ia bahkan tak juga bisa menarik perhatian orang-orang setelah ia menurunkan harga jasanya. Sampai akhirnya, ia menyerah dan mencoba untuk mendapatkan sumber penghasilan lain yang lebih menguntungkan.

Sardi memang telah berputus asa kalau ia akan bisa terus melanjutkan hidup dan menghidupi keluarganya dari hasil melukis, sebab orang-orang tampak sudah lebih mengandalkan teknologi. Meski ia seorang yang gaptek, tetapi dari petunjuk putranya yang baru saja menjadi mahasiswa, ia tahu juga kalau teknologi mutakhir telah mampu membuat lukisan yang tak kalah baik daripada lukisannya. Ia menyaksikan sendiri kalau aplikasi ponsel pintar, bisa mengubah sebuah foto jadi layaknya lukisan dengan secepat kilat.

Terlebih lagi, berdasarkan keterangan putranya, ia tahu kalau teknologi kecerdasan buatan, telah mampu menghasilkan lukisan imajinatif. Orang-orang yang tak punya keterampilan menggambar sekali pun, dengan mudah bisa membuat lukisan menawan hanya dengan memasukkan kata-kata perintah di mesin aplikasi. Lukisan yang dihasilkan pun, akan menyesuaikan dengan kompleksitas kata kunci. Hasilnya akan tampak otentik, bahkan tak terbayangkan.

Di tengah ketidakberdayaannya melawan teknologi, Sardi pun pasrah jikalau harus benar-benar berhenti menjadi pelukis bayaran. Ia pun memikir-mikirkan pekerjaan lain untuk menjadi sumber penghidupan barunya. Tetapi lama-lama, ia pusing juga, sebab ia hanya punya keahlian melukis. Ia bisa saja mempelajari keahlian lain untuk mencari pekerjaan, tetapi ia merasa tak sanggup kalau harus mengorbankan waktu yang panjang, apalagi kalau harus menguras tabungannya.

Sampai akhirnya, pada satu siang, empat bulan yang lalu, istrinya membuyarkan lamunannya di tengah kekalutannya, saat mereka tengah berbaring di ruang keluarga, “Pak, lihat ini.” Sang istri menunjukkan tayangan Youtube perihal seorang dukun yang melakukan praktik pembersihan makhluk halus di sebuah rumah akibat hasil usaha para penghuninya makin memburuk. “Jangan-jangan, rumah kita juga kena kiriman penghalang rezeki dari orang yang dengki, Pak,” tukas sang istri, atas kue jualannya yang tidak lagi selaris dahulu, dan jasa lukis Sardi yang memprihatinkan.

“Ah, jangan percaya, Bu. Itu hanya takhayul. Kalau pendapatan kita menurun, ya, bukan berarti karena persoalan gaib, tetapi karena orang-orang memang tidak lagi tertarik dengan apa yang kita tawarkan. Zaman makin berkembang, Bu, dan kita harus menyesuaikan diri kalau tidak mau kalah dalam persaingan yang makin ketat,” tanggap Sardi, dengan pikiran yang logis, seturut dengan penjelasan putranya soal dampak perkembangan teknologi.

Sang istri pun melengos. Tampak tidak sependapat.

Tetapi akhirnya, di tengah tabungannya yang makin menipis dan kebutuhan hidupnya yang makin meningkat, Sardi malah mendapatkan inspirasi kerja dari percakapan singkat tersebut. Ia tiba-tiba saja terpikir untuk menjalankan praktik perdukunan seperti yang diperlihatnya istrinya di kanal Youtube. Ia merasa kalau ia bisa menjadi dukun yang terpandang dengan menggunakan keterampilan melukisnya. Ia menaksir kalau orang-orang akan mengaguminya jika berpura-pura mampu melukis makhluk halus yang mengganggu kehidupan mereka.

Sampai akhirnya, satu setengah bulan kemudian, setelah membaca perkara ilmu perdukunan dan dunia perhantuan di internet, di tengah upayanya belajar memanfaatkan teknologi dengan ponsel pintar barunya, ia pun memutuskan untuk melakoni pekerjaan itu. Tetapi demi menjaga kewibawaannya di tengah keluarga, ia merahasiakan persoalan tersebut dari istrinya dan anak-anaknya. Setiap kali keluar rumah, ia senantiasa akan menuturkan dalih yang setengah bohong, bahwa ia hendak memangkal untuk melukis, atau sekadar berkunjung ke rumah temannya.

Supaya aksi perdukunannya berjalan baik, Sardi lantas mengajak Azim, kawannya, yang merupakan seorang pesulap yang juga sering mengamen dengan pertunjukannya di anjungan pantai. Ia tahu kalau Azim punya kemampuan sulap yang cukup bermanfaat untuk membantunya. Apalagi, ia tahu juga kalau Azim kerap mengeluhkan pendapatannya yang menurun di tengah lesunya minat dan rasa penasaran orang-orang terhadap sulap akibat maraknya pembongkaran trik sulap di internet.

Setelah sepakat berkolaborasi, Sardi dan Azim kemudian menjalankan praktik pedukunan mereka yang cuma aksi tipu-tipu. Dengan keahlian Azim bermedia sosial, mereka lalu menjaring peminat dengan mempromosikannya secara bombastis di Facebook. Dalam waktu cepat, mereka pun mendapatkan panggilan tugas, dan mereka senantiasa menunaikannya dengan adegan tipuan yang baik. Sampai akhirnya, seiring kebenaran nasihat perdukunan mereka di tengah kemungkinan-kemungkinan, satu per satu pelanggan jadi memercayai kesaktian mereka dan ikut mempromosikannya secara sukarela, hingga jadi makin berkembang.

Sampai akhirnya, malam ini, setelah sama-sama mengenakan kostum bak seorang dukun benaran di rumah Azim, mereka kembali melakukan praktik abal-abal. Mereka beradegan di sebuah rumah, seolah-olah hendak mengusir makhluk halus yang mereka cap sebagai penyebab memburuknya rezeki para penghuninya. Mereka melakukan dengan sebaik-baiknya, demi meyakinkan pengguna jasa, juga demi keberlangsungan mata pencarian mereka.

Sesaat kemudian, dengan mulut yang kembali berkomat-kamit, Sardi melangkah ke teras depan rumah, lantas pura-pura menemukan sebuah jenglot di balik pot bunga. Sebuah benda yang sebelumnya telah diselundupkan Azim di situ. “Nah, ini, Pak, benda penghantar dari orang yang dengki kepada Bapak sekeluarga, yang membuat makhluk halus itu hadir di rumah Bapak.”

Para penghuni rumah serentak terkesima.

Sardi lalu membacakan mantra asal-asalan untuk jenglot tersebut. Setelah itu, ia kembali membual, “Sekarang, kekuatan jenglot ini sudah kulenyapkan, dan makhluk halus itu pun telah menghilang dari rumah Bapak.”

Seketika pula, sekeluarga itu tampak bersyukur.

“Terima kasih, Mbah,” ucap sang tuan rumah.

Sardi mengangguk, kemudian menyambung, “Tetapi supaya rumah Bapak ini tetap terbebas dari gangguan makhluk halus, minggu depan, kalau Bapak mau, aku bisa datang lagi untuk memasang penangkal,” tawarnya, demi mendapatkan keuntungan ganda.

“Ya, sebaiknya begitu, Pak, biar benar-benar aman,” respons sang tuan rumah.

Dengan perasaan senang, Sardi pun tersenyum singkat. Seperti biasa, ia kemudian menuturkan nasihat positifnya untuk membuat aksinya bisa berefek baik, sekaligus untuk mengurangi rasa berdosanya atas praktik bohong-bohongannya, “Oh, ya, supaya efek pengusiran ini benar-benar manjur. Bapak sekeluarga harus rajin melakukan ibadah. Hindarilah juga percekcokan dan keributan di rumah Bapak ini. Dan yang tak kalah penting, layanilah pelanggan rumah makan Bapak dengan lebih baik dan ramah.”

Ketiga orang itu pun mengangguk.

Sejenak kemudian, mereka lalu pamit setelah mendapatkan seamplop uang yang jumlahnya sesuai dengan tarif yang mereka patok pada komunikasi via ponsel sebelumnya.

Namun akhirnya, saat berada di parkiran dan hendak pergi dengan sepeda motor, mata Sardi tertuju pada sebuah cahaya kemerahan yang berkedip-kedip pada bagian dinding depan di sisi sudut kanan atas rumah tersebut. Ia tahu betul kalau itu adalah kemera CCTV.

Azim kemudian menyalakan sepeda motor yang mereka tumpangi, kemudian melaju meninggalkan rumah pasien.

“He, waktu kau menaruh jenglot, apa kau melihat kamera CCTV?” sergah Sardi.

Azim lantas menghentikan sepeda motor. “Memangnya ada?” tanyanya, menandakan kelengahannnya.

“Aduh. Kau benar-benar goblok. Kan, sudah kubilang, setiap melakukan operasi, perhatikan keadaan baik-baik. Bahaya kalau ada CCTV,” kesal Sardi.

“Ya, maaf kalau begitu,” ucap Azim, dengan nada menyesal.

Sardi mendengkus pasrah. “Hancurlah kita kalau orang rumah itu mengecek CCTV dan tahu kalau yang kita hanya melakukan trik tipuan.”

“Semoga saja tidak,” timpal Azim, penuh harap, lantas kembali menjalankan sepeda motor.

Sardi kemudian hanya terdiam dengan perasan dongkol. Ia jelas khawatir kalau praktik perdukunan abal-abal mereka terbongkar, apalagi sampai menyebar di media sosial. Kalau demikian, mata pencarian mereka yang cukup menguntungkan itu, pasti akan tamat, dan mereka bisa saja diproses secara hukum atas delik penipuan.

 

* Ramli Lahaping. Penulis cerpen kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Facebook (Ramli Lahaping).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *