#KaburAjadulu: Sebuah Ancaman bagi Rakyat Tidak Mampu

Kolom, Opini96 Dilihat

TUTURMEDIA.COM – Belakangan ini, media sosial sedang dipenuhi tagar #KaburAjaDulu. Netizen mulai menggunakan tagar #KaburAjaDulu sebagai bentuk sindiran dan kritik terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Tagar ini menjadi simbol ketimpangan dalam penegakan hukum dan keberpihakan sistem sosial terhadap mereka yang memiliki kekuatan finansial dan politik. Semakin banyak kasus yang terungkap, penggunaan tagar ini pun semakin banyak dan menjadikannya sebagai bentuk perlawanan digital terhadap ketidakadilan yang sedang berlangsung.

Seiring berjalannya waktu, gerakan ini tidak hanya berfungsi sebagai protes di media sosial, namun juga mengundang diskusi publik tentang perlunya reformasi hukum yang lebih adil dan transparan. Masyarakat mulai menuntut pertanggungjawaban yang setara bagi semua warga negara, tanpa terkecuali. Tanpa adanya langkah konkret untuk memperbaiki sistem ini, maka kepercayaan publik terhadap hukum dan pemerintah akan semakin menurun, menciptakan dampak sosial yang lebih besar di masa depan. Fenomena ini menandakan adanya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Para elit dengan kekuatan ekonomi cenderung mengamankan kepentingan pribadi, sedangkan mereka yang miskin dibiarkan bertahan dalam sistem yang semakin menekan. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola kebijakan yang adil justru memperkuat stratifikasi sosial yang tidak sehat.

Ironisnya, kebijakan yang seharusnya menciptakan efisiensi justru menimbulkan kontradiksi. Alih-alih memangkas birokrasi, pemerintah justru menambah pejabat dalam lingkaran kekuasaan, yang mana hal tersebut tentu menciptakan lebih banyak pos yang tidak efektif. Anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru tersedot untuk menggaji pejabat yang kontribusinya tidak jelas. Gerakan #KaburAjaDulu juga menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin memudar. Ketika mereka yang memiliki modal lebih memilih melarikan diri daripada memperjuangkan perubahan, hal ini menunjukkan bahwa sistem sudah tidak lagi dapat diharapkan untuk berpihak kepada kepentingan rakyat banyak yang semakin memperparah ketimpangan sosial.

Dampak dari gerakan ini lebih jauh dari sekadar pergeseran individu. Ini menandakan bahwa kelompok elite semakin kehilangan empati terhadap kondisi rakyat kecil. Ketika yang kaya dapat dengan mudah meninggalkan permasalahan, mereka tidak lagi memiliki insentif untuk memperbaiki sistem. Sebaliknya, rakyat miskin yang ditinggalkan semakin kehilangan daya juang karena merasa tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Situasi ini menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus. Ketika kelompok menengah ke atas meninggalkan negeri atau mengamankan diri mereka sendiri, yang tertinggal hanya rakyat kecil yang tidak memiliki akses terhadap perubahan. Akibatnya, pemikiran kritis dan daya juang masyarakat miskin semakin tergerus.

Lebih dari sekedar bentuk protes, gerakan #KaburAjaDulu juga menimbulkan efek psikologis yang berbahaya. Ini menciptakan mentalitas menyerah pada keadaan, di mana masyarakat merasa tidak ada gunanya untuk berjuang karena sistem sudah terlalu korup untuk diperbaiki. Jika kondisi demikian ini terus dibiarkan, kita akan melihat generasi yang apatis terhadap politik dan kehilangan kepercayaan terhadap perjuangan kolektif. Sebagai sebuah bangsa, ini adalah sinyal bahaya yang perlu segera disadari. Tidak bisa dibiarkan jika hanya mereka yang memiliki sumber daya yang mampu menyelamatkan diri, sementara mereka yang tidak memiliki apa-apa harus menerima nasib. Jika pemerintah terus mempertahankan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, maka gerakan ini akan semakin besar dan merugikan stabilitas negara dalam jangka panjang.

Dalam jangka pendek, gerakan ini akan semakin memperlebar kesenjangan ekonomi. Ketika yang kaya dapat pergi atau menghindari dampak kebijakan, yang miskin semakin terpuruk dalam sistem yang tidak berpihak. Situasi ini akan menciptakan polarisasi yang lebih tajam antara kelas sosial. Lebih buruk lagi, jika pemerintah tidak segera melakukan koreksi kebijakan, maka akan semakin banyak orang yang merasa tidak memiliki keterikatan dengan negaranya sendiri. Rasa nasionalisme yang dulunya kuat bisa terkikis oleh perasaan frustrasi dan ketidakadilan yang terus berulang.

Maka dari itu, pemerintah harus segera melakukan introspeksi. Kebijakan yang dibuat harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan sosial, bukan hanya untuk kepentingan elite semata. Efisiensi dalam birokrasi harus benar-benar diterapkan, bukan hanya dijadikan jargon tanpa implementasi nyata. Selain itu, masyarakat juga harus didorong untuk kembali percaya bahwa perubahan masih mungkin terjadi. Kesadaran kritis harus terus dibangun agar mereka tidak pasrah pada keadaan dan masih memiliki keberanian untuk memperjuangkan keadilan.

Tentunya kita perlu melihat permasalahan lebih kompleks, seperti bagaimana batas umur untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri atau bahkan batas umur bagi para pelamar kerja. Seharusnya kita berfikir bagaimana langkah konkret dalam menghadapi aturan yang menyebabkan kesenjangan sosial dan lebih jauh lagi merampas hak asasi manusia. Masyarakat perlu opini untuk memperbaiki rakyat sesuai dengan amanah UUD 1945, tagar #KaburAjaDulu memang perlawanan tapi baiknya ada tagar #SelamatDatangAjaDulu untuk kita melihat permalahan klasik yang kita diamkan dan kita biarkan.

Tanpa adanya langkah konkret, gerakan #KaburAjaDulu akan semakin menunjukkan bahwa negara ini tidak lagi dapat memberikan harapan bagi rakyatnya sendiri. Jika ini terus terjadi, maka ancaman sebenarnya bukan hanya bagi mereka yang miskin, tetapi bagi keberlangsungan bangsa secara keseluruhan. Oleh karena itu, kita harus segera bertindak sebelum segalanya terlambat.

Penulis: Endang Susanti, Mahasiswa Magister Konsentrasi Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hiadayatullah Jakarta dan Hamam Nasirudin Mahasiswa Pascasarjana UIN Salatiga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *