Membedah Naskah Horor Pertama di Kelas Menulis Kofiku Kudus

Kudus152 Dilihat

KUDUS — Kelas menulis yang diselenggarakan oleh Komunitas Fiksi Kudus (Kofiku) di Perpustakaan Daerah Kudus kembali menghadirkan suasana diskusi yang kreatif dan mendalam.

Dalam pertemuan kali ini, salah satu peserta, Agus Afriliyanto, mempresentasikan proses kreatif penulisan novel pertamanya yang diangkat dari kisah nyata seorang teman masa kecilnya.

Agus mengungkapkan bahwa novel yang sedang ia tulis ini telah mencapai 42 bab, meski belum memiliki judul tetap.

Mengusung genre horor dan petualangan, cerita ini berpusat pada tokoh bernama Wira, yang pada usia 15 tahun sempat hilang selama 40 hari dan sempat dianggap meninggal dunia.

Secara misterius, Wira kembali dalam kondisi hidup namun mengalami hilang ingatan. Ia kemudian disembuhkan oleh seorang guru spiritual dan mulai mempelajari berbagai ilmu kebatinan.

Meski dikemas dalam bentuk fiksi, cerita ini sebagian besar didasarkan pada kisah nyata yang dituturkan langsung oleh tokoh aslinya.

“Saat hilang, Wira merasa hanya tiga hari berada di sebuah pantai di Jawa Tengah, padahal dalam dunia nyata ia telah hilang selama 40 hari,” ungkap Agus.

“Sepulangnya, ia kehilangan kesadaran dan harus menjalani pengobatan khusus,” lanjut dia.

Dalam proses penulisannya, Agus mendapat banyak masukan dari Dian, seorang rekan penulis yang membantu mengarahkan alur dan penokohan.

Meski demikian, hingga kini ia masih mencari kepastian arah cerita: apakah Wira akan berkembang menjadi karakter yang baik, atau justru menapaki jalan kelam?

Menanggapi itu, Dian pernah menyampaikan bahwa tokoh utama idealnya memiliki sisi baik dan buruk, agar lebih dekat dengan realitas kehidupan yang tidak selalu hitam-putih.

Diskusi kemudian berkembang ke aspek struktur cerita dan penokohan. Siti Nur Hasisah, salah satu peserta, membagikan kisah dari masa kecilnya yang mengingatkan pada cerita Wira.

Ia bercerita tentang kakeknya yang pernah dibantu sosok genderuwo saat mengambil air atau membawa barang, dan merasa terhubung secara emosional dengan narasi Agus.

Abdul Karim menyoroti pentingnya pengenalan karakter sejak awal agar pembaca lebih cepat terlibat dalam cerita.

Sementara itu, Arif Rohman memberi catatan bahwa gaya penulisan novel Agus terasa sedikit bertele-tele, namun secara teknis sudah cukup rapi dari sisi ejaan.

Ia menyarankan agar naskah ini segera diuji coba melalui penerbitan atau dipublikasikan di platform digital seperti Fizzo.

Agus sendiri mengakui bahwa alur ceritanya memang cenderung lambat, dan mempertimbangkan untuk mengedit ulang dengan menyisipkan adegan menarik di awal, lalu melanjutkan melalui teknik flashback.

Cerpenis Jimat Kalimasadha turut memberikan masukan penting terkait ritme cerita.

“Setiap adegan harus memiliki konflik. Dalam video, setiap detik harus ada perubahan. Prinsip itu juga bisa diterapkan dalam menulis,” ujarnya.

Diskusi juga menyentuh pentingnya menentukan momen klimaks dan penutup cerita. Beberapa peserta menyarankan agar kisah Wira diakhiri dalam sebuah tragedi atau titik balik emosional yang kuat, seperti dalam novel Dilan atau Hujan di Bulan Juni.

Kelas ditutup dengan semangat untuk terus berkarya dan berbagi proses menulis. Pertemuan selanjutnya dijadwalkan pada Rabu, 25 Juni 2025, dengan agenda bedah novel Dompet Ayah Sepatu Ibu karya J.S. Khairen oleh Siti Nur Hasisah.

(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *