Peristiwa Penolakan Ibu Hamil di Papua: Edy Wuryanto Desak Pemerintah Bertindak Tegas

Nasional36 Dilihat

JAKARTA – Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menyampaikan kemarahan dan keprihatinan mendalam atas kasus penolakan seorang ibu hamil di Papua oleh empat rumah sakit, yang berujung pada kematian ibu dan bayinya. Edy menegaskan bahwa kejadian ini bukan sekadar kesalahan administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap Undang-Undang Kesehatan.

“Kesehatan adalah hak asasi yang tidak boleh dikurangi dalam situasi apa pun,” ujar Edy, menekankan bahwa UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk hidup sejahtera dan memperoleh pelayanan kesehatan.

Edy menjelaskan bahwa Pasal 28H UUD 1945 secara eksplisit menyatakan kewajiban negara untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang layak. Ayat (1) menyatakan setiap warga negara berhak hidup sejahtera dan memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat (2) menegaskan bahwa rakyat harus memperoleh kemudahan dalam mengakses pelayanan tersebut dan Ayat (3) memastikan setiap orang berhak atas jaminan sosial, termasuk dalam pembiayaan kesehatan melalui skema JKN.

“Ketika seorang ibu hamil, dalam kondisi gawat darurat, ditolak oleh rumah sakit hanya karena ruang kelas 3 penuh atau karena tidak mampu membayar uang muka, maka di situ negara telah gagal menjalankan mandat konstitusi,” tegasnya.

Politisi PDI Perjuangan itu juga menyoroti Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, yang menempatkan tanggung jawab negara secara langsung atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak.

“Fasilitas kesehatan adalah amanat negara untuk melindungi nyawa,” tambahnya.

Edy juga menyinggung UU 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, yang mewajibkan seluruh rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dalam kondisi gawat darurat.

Ia mengutip Pasal 174 yang melarang rumah sakit menolak pasien, meminta uang muka, atau menunda pelayanan dengan alasan administratif.

“Ibu Irene datang dalam kondisi hendak melahirkan. Itu adalah definisi paling dasar dari kegawatdaruratan. Keempat rumah sakit yang menolak telah mengabaikan kewajiban hukum dan kewajiban moralnya,” kata Edy.

Pelanggaran ini, menurut Edy, memiliki konsekuensi hukum yang tegas. Pasal 438 UU Kesehatan mengatur ancaman pidana hingga 10 tahun penjara atau denda Rp 2 miliar bagi penolakan pasien gawat darurat yang berujung pada kematian.

“Saya meminta Polri turun tangan menangani kasus ini. Kematian seorang ibu dan bayinya bukan sekadar insiden, tetapi akibat dari pelanggaran hukum yang nyata,” tegasnya.

Menanggapi alasan penuhnya ruang kelas 3, Edy menjelaskan bahwa Permenkes 28/2014 mengatur pasien harus dirawat di kelas 1 atau 2 tanpa biaya tambahan jika kelas 3 penuh.

“Dengan regulasi sejelas itu, permintaan uang muka Rp 4 juta untuk ruang VIP adalah bentuk pengabaian aturan. Rumah sakit tidak bisa menjadikan tarif sebagai palang pintu yang akhirnya merampas kesempatan hidup pasien,” ujarnya.

Edy juga menyoroti masalah serius dalam penyelenggaraan JKN dan pengelolaan IGD di daerah-daerah terpencil seperti Papua. Ia mendesak pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk lebih proaktif dalam mengawasi situasi IGD dan memastikan tidak ada peserta JKN yang ditolak.

“Tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda pembenahan. Nyawa rakyat bukan angka statistik. Seorang ibu dan bayinya telah menjadi korban kegagalan sistem yang seharusnya melindungi mereka,” kata Edy.

Edy mendesak agar investigasi terhadap empat rumah sakit yang terlibat dilakukan secara transparan dan menyeluruh.

“Tragedi di Papua ini harus menjadi titik balik. Negara tidak boleh diam ketika hukum dilanggar dan rakyat menjadi korban. Penegakan hukum harus tegas, pengawasan harus diperkuat, dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi napas seluruh institusi kesehatan kita,” pungkasnya.

(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *