JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menutup sementara Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dan mewajibkan Sertifikat Laik Higienis dan Sanitasi (SLHS) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) disambut baik oleh Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto.
Namun, politisi PDI Perjuangan ini menegaskan bahwa langkah tersebut harus menjadi titik tolak perbaikan fundamental, bukan hanya respons sesaat terhadap kasus keracunan.
“Penutupan dapur yang bermasalah adalah langkah tepat, tetapi bukan solusi akhir. Perbaikan harus dilakukan di hulu,” tegas Edy, menyoroti pentingnya penanganan akar masalah.
Ia juga mengapresiasi kebijakan SLHS sebagai standar mutlak.
“Tanpa standar dasar ini, risiko keracunan akan selalu menghantui penerima manfaat MBG,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Edy menyoroti celah pengawasan yang masih terjadi. Menurutnya, fokus tidak boleh berhenti pada perizinan semata, melainkan harus mencakup seluruh rantai pasok: pemilihan bahan makanan, proses pengolahan, hingga distribusi. Ia mengkritik ketiadaan sinergi antarlembaga yang berwenang.
“Selama kementerian dan lembaga ini jalan sendiri-sendiri, BGN lebih mengejar kuantitas SPPG ketimbang kualitas. Ini berbahaya. Tanpa keterlibatan penuh pemerintah daerah, Kemenkes, dan BPOM, standar keamanan pangan tidak mungkin dijaga,” ungkap Legislator dari Dapil Jawa Tengah III itu, mendesak adanya kolaborasi erat antara Kementerian Kesehatan (melalui puskesmas dan dinas kesehatan) dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Untuk mewujudkan kerja sama lintas lembaga yang efektif, Edy mendesak diterbitkannya payung hukum yang jelas, seperti Peraturan Presiden atau Instruksi Presiden.
“BGN tidak bisa berjalan sendirian. Presiden harus memastikan bahwa Kemenkes dan BPOM masuk ke sistem sejak awal. Dengan begitu, standar mutu tidak hanya ditulis di atas kertas, tapi benar-benar dijalankan di lapangan,” ucapnya.
Tak hanya itu, Edy juga mengkritik keras lemahnya komunikasi publik BGN dalam menghadapi insiden keracunan. Ia menilai pernyataan yang meremehkan jumlah korban telah melukai perasaan masyarakat dan menunjukkan kurangnya empati.
“Tidak ada kata ‘cuma’ dalam urusan keracunan makanan. Ini menyangkut nyawa dan kesehatan anak-anak kita. Satu korban saja sudah cukup menjadi alarm. Pemerintah harus belajar berkomunikasi dengan empati dan tanggung jawab,” ujarnya tegas.
Edy menutup dengan mengingatkan bahwa MBG adalah program ambisius dengan harapan besar. Namun, tanpa perbaikan sistem di hulu, pengawasan terpadu, dan komunikasi publik yang bertanggung jawab, program ini akan terus dibayangi masalah dan sulit mencapai tujuannya.
(red)