Pemutihan Tunggakan JKN, Edy Wuryanto: Jangan Hanya Jadi Kebijakan Populis

JAKARTA – Pemerintah berencana menghapus tunggakan iuran BPJS Kesehatan bagi sekitar 23 juta peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari kelompok Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. Kebijakan ini ditargetkan selesai paling lambat akhir November 2025.

Anggota Komisi IX DPR RI, Edy Wuryanto, menilai kebijakan ini sebagai langkah progresif yang berpihak pada rakyat. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak berhenti pada kebijakan populis semata tanpa pembenahan sistemik.

“Penghapusan tunggakan memang penting untuk mengembalikan hak konstitusional warga sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Tetapi langkah ini harus diiringi reformasi layanan dan pengawasan yang lebih ketat,” tegas Edy.

Menurut Edy, banyak peserta mandiri yang ingin kembali aktif namun terhambat tunggakan iuran. Dengan adanya pemutihan, mereka dapat membayar iuran tanpa beban masa lalu.

“Kebijakan ini justru bisa menambah pemasukan riil dan membantu mengatasi potensi defisit JKN,” ujarnya.

Edy juga menambahkan bahwa penghapusan tunggakan dapat menertibkan status peserta penerima bantuan iuran (PBI). Selama ini, sebagian peserta mandiri yang menunggak dialihkan menjadi PBI yang iurannya ditanggung pemerintah.

“Dengan pemutihan, peserta yang mampu bisa kembali menjadi peserta mandiri, sehingga PBI benar-benar diperuntukkan bagi warga miskin,” jelasnya.

Lebih jauh, Edy melihat kebijakan ini memiliki dimensi keadilan sosial.

“Kalangan mampu sudah pernah mendapat pengampunan pajak lewat tax amnesty. Maka pemutihan JKN menjadi bentuk keadilan negara bagi rakyat kecil,” tuturnya.

Meski demikian, Edy menegaskan bahwa keberhasilan program JKN tidak hanya diukur dari jumlah peserta aktif, tetapi juga dari mutu layanan dan integritas sistemnya.

“Kalau layanan kesehatan membaik, masyarakat akan rela membayar iuran rutin. Tanpa itu, pemutihan hanya akan menjadi wacana populis tanpa efek jangka panjang,” katanya.

Edy juga mendorong agar Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Sanksi Pelanggaran Kepesertaan JKN diperluas penerapannya. Saat ini, sanksi administratif baru berlaku untuk pengurusan SKCK dan SIM.

“Sanksi perlu diperluas agar peserta menengah ke atas juga merasa bertanggung jawab. Prinsip gotong royong dalam jaminan sosial tidak boleh hanya menjadi jargon,” ujarnya.

Edy memperingatkan bahwa kebijakan pemutihan harus diikuti langkah pembenahan menyeluruh.

“Jangan jadikan ini sekadar hadiah politik. Pastikan kebijakan ini menegakkan keadilan, memperkuat layanan, dan menjaga keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional,” pungkasnya. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *