Bencana “Tsunami” Sosial Tanah Pamardikan

Artikel, Opini106 Dilihat

TUTURMEDIA.COM – Beberapa hari ini santer terdengar pergerakan masyarakat dari pesisir utara Jawa Tengah. Pelacakan pada kisah di wilayah pamardikan yang bernama Pati Pesantenan menunjukkan bahwa wilayah ini menjadi garda depan penolakan pajak sejak masa Kerajaan Demak.

Budaya ini tercermin dalam perjuangan, kearifan lokal, serta nilai-nilai kemandirian masyarakat Pati yang telah mengakar sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha hingga masa kolonial.

Pada era kerajaan seperti Majapahit, Pati dikenal sebagai wilayah yang strategis di pesisir utara Jawa (Pantura). Masyarakat Pati saat itu sudah menunjukkan semangat pamardikan melalui aktivitas perdagangan dan pelayaran yang mandiri.

Wilayah ini menjadi pusat pertukaran budaya dan ekonomi, menunjukkan ketahanan masyarakatnya dalam menghadapi dinamika politik kerajaan besar.

Ketika Kesultanan Demak berkuasa (abad ke-16), Pati menjadi bagian penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Tokoh seperti Kyai Ageng Penjawi (panglima Demak asal Pati) mencerminkan semangat pamardikan dengan mempertahankan otonomi wilayahnya sambil mendukung perjuangan melawan penjajah Portugis.

Pada masa Mataram Islam, Pati kerap menjadi wilayah yang “bernafsu merdeka”, sering melakukan perlawanan terhadap sentralisasi kekuasaan Mataram. Pemberontakan Trunajaya (1676–1680) melibatkan banyak pengikut dari Pati yang menentang penindasan feodal Mataram dan VOC, menunjukkan jiwa pemberontakan untuk kebebasan(Ricklefs, 2013).

Semangat pamardikan semakin kuat saat penjajahan Belanda. Pati menjadi salah satu basis perlawanan rakyat, seperti dalam Perang Jawa (1825–1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro(Lombard, 2005).

Berbagai peninggalan sejarah di wilayah ini seperti Sungai Mataraman, dan makam Kyai Murtomo, serta berbagai jejak perjuangan Diponegoro menunjukkan wilayah ini merupakan jalur utama pergerakan melawan penjajah.

Kabupaten Pati memiliki tradisi panjang dalam budaya pamardikan, mulai dari perlawanan terhadap feodalisme kerajaan, kolonialisme, hingga bentuk-bentuk kemandirian masyarakatnya. Nilai-nilai ini tetap relevan sebagai bagian dari identitas Pati yang gigih dan berdaulat.

Geliat Pamardikan

Karakter budaya masyarakat pamardikan melekat erat dalam kehidupan masyarakat Pati. Tradisi dan nilai-nilai lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi menjadi bagian integral dari identitas mereka. Nilai gotong royong dan kebersamaan sangat dijunjung tinggi, menciptakan rasa solidaritas di antara warga.

Masyarakat Pamardikan berupaya menjaga warisan leluhur sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Karakter budaya masyarakat Pamardikan yang menekankan nilai gotong royong dan kebersamaan menciptakan suasana egaliter di masyarakat Pati.

Dalam interaksi sosial, setiap individu dihargai dan memiliki peran penting, sehingga mengurangi hierarki sosial. Hal ini memperkuat solidaritas dan kerjasama antarwarga, menciptakan lingkungan yang inklusif dan harmonis.

Karakter masyarakat Pamardikan condong pada sifat egaliter. Namun, masyarakat mendapatkan pola kepimpinan baru dengan pola yang bertentangan dengan sifat utama identitas masyarakat di wilayah ini. Bupati yang sedang disorot di media sosial tersebut memiliki pola kepemimpinan elitisme.

Di awal kepemimpinannya, strategi, komunikasi, dan pola kebijakan mengambil skema elitisme kerajaaan. Pemimpin tersebut melupakan karakter dasar wilayah pamardikan yang dipimpinnya.

Benturan sifat elitisme bupati dengan sifat egalitarian masyarakat inilah menjadikan bencana “tsunami” sosial(Abdullah, 2008; Smart et al., 2003), selama sekian periode setelah 80 tahun Indonesia Merdeka.

Masyarakat wilayah ini mengingatkan kembali perjuangan para nenek moyangnya di masa lampau. Bencana “tsunami” sosial ini muncul dengan berbagai pemicu kebijakan yang mengintimidasi lembaga pendidikan, pola komunikasi elitisme, naiknya pajak sebagai gong pergerakan aksi ini.

Ombak dahsyat tsunami ini makin menguat saat respon donasi masyarakat menunjukkan kuatnya sifat egaliter masyarakat Pati, namun elitism menorehkan luka saat melakukan perampasan serta perkataan yang memicu emosi masyarakat.

Saat gelombang utama bencana “tsunami” sosial ini menguat, pihak elitisme terpontang-panting dengan membludaknya animo donasi masyarakat. Sejarah tanah pamardikan kembali terulang, kereta kencana melaju diiringi dengan kekecewaan masyarakat.

Di saat gelombang “tsunami” mulai menenggelami kaum elitisme, berbagai permintaan maaf bagaikan buih. Masyarakat egaliter tertoreh luka mendalam, permintaan pajak dibatalkan tak dapat menghapus luka tersebut.

Jelang gelombang sesungguhnya bencana “tsunami” sosial, peristiwa tanah pamardikan Pati pesantenan menjadi pengingat dalam pola kepemimpinan di negeri ini. Rakyat membutuhkan pengayoman pemimpin, kepercayaan masyarakat menjadi berharga tak hanya dalam masa kampanye dan pencoblosan suara. Tapi rakyat memiliki peran dalam berbagai kebijakan yang dibuat. Bencana “tsunami” sosial dapat dihindari apabila pengayoman menjadi pemimpin dalam egaliternya masyarakat.

Referensi

Abdullah, I. (2008). Konstruksi dan Reproduksi Sosial atas Bencana Alam. In Working Paper in Interdisciplinary Studies (Vol. 1, Issue 01). Gadjah Mada University.

Lombard, D. (2005). Nusa Jawa: Silang budaya: Kajian Sejarah Terpadu, bagian I. In Le Carrefour Javanais. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/57491

Ricklefs, M. C. (2013). The crisis of 1740-1 in Java: the Javanese, Chinese, Madurese and Dutch, and the fall of the court of Kartasura. Bijdragen Tot de Taal-, Land- En Volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 139(2), 268–290. https://doi.org/10.1163/22134379-90003445

Smart, A., Hoffman, S. M., & Oliver-Smith, A. (2003). Catastrophe and Culture: The Anthropology of Disaster. Anthropologica, 45(1), 179. https://doi.org/10.2307/25606126

Penulis:  Fathimatuz Zahra (Jaladara Institute)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *