Kenaikan Cukai Rokok Ancam Industri di Kudus, Pelaku Usaha Angkat Bicara

Kudus56 Dilihat

KUDUS – Pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang menyinggung Firaun terkait tingginya tarif cukai rokok sebesar 57 persen telah memicu reaksi keras dari para pelaku industri rokok di Kudus.

Ketua Persatuan Pengusaha Rokok Kudus (PPRK), Agus Sarjono, menegaskan bahwa persoalan utama bukanlah sekadar retorika, melainkan kebijakan konkret yang mampu melindungi industri hasil tembakau.

“Bagi kami, bukan soal gebrakan verbal. Yang penting adalah bagaimana kebijakan Kemenkeu benar-benar memberi perlindungan bagi industri rokok,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Minggu (21/9/2025).

Agus menekankan bahwa Kudus merupakan salah satu pusat industri rokok terbesar di Indonesia yang menyerap puluhan ribu tenaga kerja.

Data dari Bappeda Kudus menunjukkan bahwa sektor ini menopang hingga 75 persen perputaran ekonomi daerah.

“Industri rokok adalah sektor paling taat pajak. Setiap batang rokok yang keluar dari pabrik sudah mengandung kontribusi nyata bagi negara,” imbuhnya.

Meskipun sudah terbiasa dengan kenaikan cukai setiap tahun, para pelaku industri merasa beban semakin berat dengan maraknya rokok ilegal di pasaran.

Kenaikan harga rokok legal akibat cukai tinggi justru mendorong konsumen beralih ke rokok ilegal yang lebih murah.

“Ini ancaman terbesar. Rokok ilegal tidak hanya merugikan industri legal, tetapi juga negara karena tidak ada kontribusi cukai,” jelasnya.

Agus memberikan gambaran kerugian negara dengan simulasi sederhana. Jika pendapatan cukai setahun setara dengan 360 miliar batang rokok, peredaran rokok ilegal sebesar 10 persen saja berarti 36 miliar batang tanpa kontribusi. Angka itu setara dengan produksi 12 pabrik besar golongan I.

“Padahal peredaran rokok ilegal disinyalir bisa mencapai 20 persen,” tambahnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/2024 dan PMK Nomor 97/2024, tarif cukai hasil tembakau untuk tahun 2025 ditetapkan bervariasi.

Untuk rokok golongan I sigaret kretek mesin (SKM) sebesar Rp 1.231 per batang, golongan II SKM Rp 746, sigaret putih mesin (SPM) golongan I Rp 1.336, golongan II Rp 794, sedangkan sigaret kretek tangan (SKT) golongan I Rp 483, golongan II Rp 223, dan golongan III Rp 122 per batang.

“Biasanya aturan kenaikan tarif tahun berikutnya keluar sekitar Oktober atau November. Itu yang selalu jadi kekhawatiran kami, kenaikan berulang yang memberatkan industri,” ungkapnya.

Baik pengusaha maupun pemerintah daerah sepakat bahwa kunci penyelamatan industri rokok terletak pada keberpihakan kebijakan.

Perlindungan terhadap industri dalam negeri harus diwujudkan, salah satunya melalui pemberantasan rokok ilegal secara konsisten.

“Bagi kami, yang lebih penting adalah perlindungan nyata. Kalau rokok ilegal tidak diberantas, industri legal akan semakin terpuruk, dan negara sendiri kehilangan pemasukan besar,” tegasnya.

Sementara itu, Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris, turut menyuarakan keberatan terhadap rencana kenaikan cukai.

Ia meminta pemerintah pusat menunda kebijakan tersebut, mengingat pertumbuhan ekonomi Kudus tengah melambat.

“Semester pertama 2025, laju pertumbuhan ekonomi Kudus hanya 2,7 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 5 persen,” ujarnya.

Menurutnya, tekanan regulasi terhadap industri hasil tembakau menjadi salah satu faktor penghambat. Selain beban tarif, persaingan dengan rokok ilegal juga membuat sektor produksi semakin terhimpit. Padahal, kontribusi Kudus terhadap penerimaan cukai nasional sangat besar.

(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *