Konstitusi yang hidup dan masa depan demokrasi Indonesia: ketika konstitusi belajar beradaptasi
Penulis: Nova Arista, S.H – Pengurus Nasional Perisai Demokrasi Bangsa
Editor: Redaksi
Tutur Media – Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menjadi tonggak penting dalam perjalanan hukum tata negara Indonesia. Melalui putusan ini, Mahkamah menafsirkan ulang makna “keserentakan” dalam pemilihan umum yang selama ini dipahami secara kaku sebagai pelaksanaan semua jenis pemilu dalam satu waktu.
Pengalaman Pemilu 2019 dan 2024 memberikan pelajaran berharga. Ratusan petugas pemilu meninggal dunia karena kelelahan berat akibat beban kerja yang berlebihan. Kejadian ini menunjukkan bahwa efisiensi waktu tidak selalu sejalan dengan kualitas demokrasi. Dari sinilah muncul kesadaran baru bahwa konstitusi harus mampu menyesuaikan diri dengan tantangan sosial, politik, dan kemanusiaan yang terus berubah.
Mahkamah menegaskan bahwa konstitusi bukanlah teks yang beku, melainkan panduan yang hidup. Artinya, hukum dasar sebuah negara harus terus bertumbuh bersama masyarakatnya agar tetap relevan di tengah perubahan zaman.
Adaptive Constitutionalism: Konstitusi yang Menyatu dengan Zaman
Pendekatan adaptive constitutionalism memandang konstitusi sebagai dokumen hidup yang mampu menyesuaikan diri tanpa kehilangan prinsip dasarnya. Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi tidak sedang melanggar teks, tetapi justru menghidupkan semangat konstitusi yang sejati.
Tujuan utamanya adalah agar demokrasi dapat berjalan efektif dan manusiawi. Keserentakan tidak lagi diartikan sebagai waktu yang sama, melainkan sebagai harmoni antara tahapan pemilu, tujuan demokrasi, dan efektivitas sistem pemerintahan presidensial.
Pendekatan seperti ini mengingatkan bahwa hukum tidak boleh terjebak dalam formalitas. Demokrasi yang matang justru lahir dari kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan realitas, tanpa kehilangan komitmen terhadap keadilan dan kemanusiaan.
Menata Ulang Demokrasi Menuju Pemilu 2029
Perubahan tafsir ini membuka peluang besar bagi reformasi demokrasi, namun juga menghadirkan tantangan baru. Dari sisi regulasi, belum ada undang-undang yang menampung penafsiran baru Mahkamah, sehingga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penyelenggara pemilu.
Dari sisi kelembagaan, Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu perlu menata ulang sistem kerja, logistik, dan anggaran. Hal ini menuntut koordinasi yang matang serta komitmen untuk menjaga transparansi dan integritas.
Tantangan lain muncul dari sisi masyarakat. Pemilih perlu memahami sistem baru ini agar tidak bingung menghadapi dua siklus pemilihan yang berbeda. Pendidikan politik menjadi kunci agar warga tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek yang sadar akan peran dan haknya dalam sistem demokrasi.
Inilah ujian terbesar adaptive constitutionalism di Indonesia. Perubahan tidak boleh berhenti di ruang sidang Mahkamah, tetapi harus hidup di kesadaran publik dan lembaga-lembaga negara yang menjalankannya.
Demokrasi Tidak Berhenti di Bilik Suara
Perisai Demokrasi Bangsa sebagai organisasi masyarakat sipil kepemudaan yang fokus pada penguatan demokrasi memandang putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 sebagai langkah progresif dan penuh tanggung jawab. Putusan ini membuka jalan untuk memperbaiki sistem politik yang selama ini terlalu administratif dan teknokratis.
Namun, keberhasilan adaptasi konstitusional tidak boleh diukur dari seberapa cepat pemilu dijalankan. Ukurannya adalah seberapa besar rakyat memiliki kesempatan untuk berpartisipasi, mengawasi, dan menentukan arah demokrasi secara setara.
Perisai Demokrasi Bangsa menegaskan tiga sikap utama.
Pertama, menolak penyederhanaan demokrasi menjadi sekadar kegiatan memilih. Pemilu harus menjadi ruang untuk memastikan keterwakilan dan tanggung jawab politik setelah proses elektoral selesai.
Kedua, menuntut audit demokrasi yang komprehensif. Pemerintah dan lembaga penyelenggara perlu mengevaluasi dampak putusan Mahkamah terhadap keadilan pemilu, pendanaan politik, serta peluang calon perempuan dan independen.
Ketiga, mendorong penyusunan Peta Jalan Demokrasi 2025–2029. Langkah ini harus mencakup harmonisasi aturan, reformasi partai politik, dan digitalisasi pengawasan pemilihan agar demokrasi berjalan lebih bersih dan efisien.
Bagi Perisai Demokrasi Bangsa, demokrasi yang adaptif bukanlah demokrasi yang berubah karena tekanan teknis, melainkan karena kesadaran etis untuk menjamin keadilan politik bagi seluruh warga negara.
Arah Baru Demokrasi Konstitusional
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan bahwa hukum dasar bangsa ini tidak berjalan di ruang hampa. Ia hidup bersama rakyat, merespons tantangan sosial, dan bergerak menuju keadilan yang lebih manusiawi.
Tugas kita selanjutnya adalah memastikan agar semangat adaptif ini tidak berhenti di meja hakim, tetapi menjadi budaya dalam cara bangsa ini memahami demokrasi. Demokrasi yang hidup bukanlah yang sekadar mematuhi prosedur, melainkan yang mampu menyeimbangkan antara stabilitas dan perubahan, antara hukum dan nurani.
(Ken)






