Belajar Setia Tanpa Kehilangan Diri

Artikel53 Dilihat

TUTURMEDIA.COM – Kesetiaan sering kali dipandang sebagai puncak dari cinta, tanda ketulusan, dan bukti bahwa hati tidak mudah goyah meski diterpa badai. Namun ada kalanya, kesetiaan justru berubah menjadi rantai tak kasat mata yang mengikat seseorang pada sosok yang sudah pergi, pada kenangan yang sudah lapuk, atau pada janji yang tak lagi dipegang oleh kedua belah pihak. Di titik inilah, kesetiaan berhenti menjadi kebajikan, dan pelan-pelan menjelma penjara bagi jiwa yang menolak untuk melepaskan.

Ada orang yang terus menggenggam erat sebuah nama, meski nama itu telah hilang dalam gelombang hidup orang lain. Ia bertahan bukan karena masih ada timbal balik, melainkan karena hatinya menolak menerima kenyataan bahwa cinta yang dahulu penuh gairah kini tinggal debu. Dalam diam, ia berusaha merawat bayangan, berbicara dengan kenangan, dan menyalakan api kecil dari abu yang sudah dingin. Namun semakin lama, api itu justru menghanguskan dirinya sendiri, membakar rasa percaya diri, menelan harapan, dan merusak cara pandangnya terhadap dunia.

Mungkin kesetiaan seperti itu terlihat indah dari luar. Orang akan memuji, “Betapa setianya ia,” atau “Lihat, cintanya tidak pudar meski ditinggalkan.” Padahal di balik pujian itu tersembunyi luka yang semakin dalam. Kesetiaan yang tak mendapat ruang balas, ibarat menanam bunga di tanah yang gersang. Ia bisa terus menyiram setiap hari, namun tanah yang retak tak akan pernah memberi kehidupan baru. Yang tersisa hanyalah kekecewaan dan rasa bersalah pada diri sendiri, karena telah menolak realitas yang sebenarnya sudah jelas: cinta itu telah pergi.

Berpegang pada seseorang yang sudah melepaskan bukanlah bentuk cinta. Itu hanyalah bentuk keengganan menerima kehilangan. Cinta sejati seharusnya memberikan ruang kebebasan, baik untuk kita maupun untuk dia yang pernah kita sayangi. Tetapi ketika cinta berubah menjadi ikatan yang hanya ditopang oleh satu pihak, maka ia berhenti menjadi cinta dan berubah menjadi ilusi yang melemahkan. Kita bisa meyakinkan diri bahwa kesetiaan adalah tanda keberanian, padahal sebenarnya itu hanyalah bentuk ketakutan—takut menghadapi hari-hari tanpa dirinya, takut berjalan sendirian, takut menerima bahwa cerita sudah berakhir.

Mengabaikan diri sendiri demi bertahan dalam cinta yang kosong adalah bentuk pengkhianatan terhadap hidup yang kita miliki. Betapa sering seseorang terjebak dalam lingkaran penantian yang sia-sia, menunggu pesan yang tak akan pernah datang, mengulang kenangan yang hanya hidup dalam kepala, atau berharap pada pintu yang sudah tertutup rapat. Ia menolak melangkah maju, meski dunia terus berputar dan kesempatan baru mengetuk perlahan. Hatinya memilih tetap tinggal di masa lalu, meski tubuhnya berjalan ke depan. Di sinilah penjara itu bekerja: tak ada jeruji besi, tetapi jiwa terkekang; tak ada kunci, tetapi kebebasan tak pernah benar-benar diraih.

Lalu, apa yang membuat seseorang rela mengurung dirinya dalam penjara itu? Barangkali karena cinta yang pernah hadir begitu kuat, begitu indah, hingga meninggalkan bekas yang sulit dihapus. Bekas itu membuatnya percaya bahwa hanya cinta itu yang pantas dipertahankan, seolah-olah tidak ada lagi kemungkinan lain di luar sana. Ia menutup mata pada kenyataan bahwa manusia bisa berubah, perasaan bisa pudar, dan perjalanan hidup memang kadang menuntun kita pada jalan yang berbeda. Ia menganggap melepas sama saja dengan mengkhianati cinta, padahal justru dengan melepas ia bisa benar-benar menghormati cinta itu sebagai sesuatu yang pernah indah, meski kini tak lagi bisa dimiliki.

Kesetiaan yang sehat tidak pernah mengekang. Ia memberi ruang bagi pertumbuhan, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi pasangannya. Tetapi kesetiaan yang buta, yang bertahan hanya karena takut kehilangan, akan selalu melahirkan penderitaan. Pada akhirnya, kita hanya bisa memilih: apakah ingin terus terjebak dalam ilusi yang mengekang, atau berani keluar dan memberi kesempatan pada diri sendiri untuk sembuh, belajar, dan menemukan kebahagiaan yang baru.

Melepaskan bukan berarti melupakan. Melepaskan berarti mengakui bahwa sesuatu pernah ada, pernah begitu berharga, lalu memilih untuk tidak lagi membiarkan bayangan itu menguasai langkah ke depan. Melepaskan adalah keberanian untuk berkata, “Aku pernah mencintaimu dengan sepenuh hati, tetapi kini aku harus mencintai diriku sendiri lebih dahulu.” Karena pada akhirnya, cinta kepada diri sendiri adalah dasar dari segala bentuk cinta yang sehat.

Banyak orang takut dianggap lemah bila mereka menyerah pada cinta yang tak lagi berbalas. Padahal, tidak ada keberanian yang lebih besar daripada mengakui bahwa sebuah cerita telah selesai. Kesetiaan sejati bukanlah bertahan di tempat yang sudah kosong, melainkan menjaga hati tetap terbuka untuk cinta dalam segala bentuknya, entah itu datang dari orang baru, dari sahabat, dari keluarga, atau dari kehidupan itu sendiri.

Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk tetap tinggal ketika hatinya sudah memilih pergi. Yang bisa kita lakukan hanyalah menjaga agar kepergian itu tidak menghancurkan siapa diri kita. Sebab, hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam jeruji penantian yang tak berujung. Ada begitu banyak hal di luar sana yang menunggu untuk kita jalani, ada begitu banyak orang yang bisa kita temui, ada begitu banyak cinta yang bisa kita bagi.

Mungkin sulit pada awalnya, bahkan terasa mustahil. Ada malam-malam panjang yang penuh air mata, ada rasa hampa yang menusuk, ada godaan untuk kembali pada bayangan lama. Tetapi seiring waktu, luka itu akan perlahan mengering. Hati yang remuk bisa belajar pulih, dan jiwa yang terpenjara bisa belajar meraih kebebasan. Kita hanya perlu percaya bahwa hidup tidak berhenti pada satu orang, satu cerita, atau satu kenangan. Hidup selalu memberi peluang baru, asalkan kita mau membuka pintu dan melangkah keluar.

Kesetiaan yang sejati bukanlah penjara, melainkan jalan pulang menuju diri sendiri. Kesetiaan itu berarti tetap jujur pada hati, namun juga berani membebaskan diri ketika cinta sudah tidak lagi bersemayam di tempat yang sama. Ia adalah kemampuan untuk berkata: aku pernah mencintai, aku pernah setia, tetapi kini aku memilih hidupku sendiri, dengan segala kemungkinan yang ada di depanku.

Kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah lebih baik terkurung dalam kesetiaan yang membelenggu, atau melangkah bebas dengan keberanian untuk memulai kembali? Jawaban itu mungkin tidak mudah, tetapi satu hal pasti—hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam penjara yang kita ciptakan sendiri.

Penulis : T.H. Hari Sucahyo, Alumnus Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata Semarang